Menelusuri Jejak Kesatuan Nubuwwah (Telaah Historis atas Surat al-Mu’min ayat 78)
Abstract
Salah satu rukun iman yang wajib diyakini oleh umat Islam adalah percaya
kepada para nabi yang telah diutus oleh Allah kepada umat manusia. Sebab,
merekalah yang menyampaikan risalah ketuhanan dari Allah. Mereka
berperan sebagai Hermes, yang menyampaikan dan menafsirkan pesan-pesan
Tuhan yang absolut dan mutlak kepada manusia sebagai makhluk relatif
dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh mereka. Dengan
demikian, posisi seorang nabi sangat menentukan dalam agama, khususnya
agama Islam.
Artikel ini mencoba mengkaji jejak kenabian yang terdapat dalam al-Qur’an,
terutama dalam surah al-Mu’min ayat 78. Ayat yang memuat materi tentang
nabi dan misinya berikut hubungan maknanya yang mengacu pada persoalan
fungsi diutusnya seorang nabi dan rasul. Selain itu, dilihat bagaimana
penafsiran yang telah dilakukan oleh para mufasir terdahulu berkaitan dengan
ayat-ayat tersebut.
Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam membahas persoalan
ini. Pertama, nabi merupakan sosok sentral dalam agama yang menjadi figur
perantara antara pikiran Tuhan dengan pikiran manusia. Kedua, ada berbagai
penafsiran tentang terma nabi sehingga memunculkan adanya perbedaan
pendapat tentang apa dan siapa yang disebut nabi itu. Sebagai contoh
beberapa pendapat menganggap bahwa Sang Budha adalah sebagai nabi,
sementara yang lain menganggap tidak. Ketiga, dalam tubuh umat Islam
sendiri pun ada aliran yang memaknai terma nabi secara berbeda. Sebagai
misal Gerakan Ahmadiyah Qadhiyan yang menganggap masih ada nabi
setelah Muhammad, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Dengan beberapa
pertimbangan tersebut, maka artikel ini akan mengkaji terma nabi/rasul yang
terdapat dalam al-Qur’an.
Kata kunci: nabi, rasul, jejak kenabian.